Tema : Golongan orang yang tidak mendapat Ampunan di Hari Raya Idul Fitri
setelah berpuasa selama 1 bulan pastinya kita sebagai Umat Islam
mendapat Maghfiroh atau Ampunan dari Allah SWT , gak tanggung tanggung
Ampunan yang Allah berikan kepada kita adalah mengampuni Dosa yang telah
kita perbuat bahkan sampai Suci seperti Bayi
tapii ada 4 Golongan Manusia yang tidak mendapat Maghfiroh atau Ampunan fi yaumil Idil Fitri .. Siapakah itu ??
1. Orang yang masih Durhaka kepada Orang Tua-nya
2. Orang yang masih mengonsumsi Narkoba
3. Orang yang memutuskan Tali Silaturrahmi
4. Orang yang tidak bertegur sapa dengan Saudaranya selama 3 hari
Na'udzubillah Min Dzalik .. Semoga kita tidak termasuk kedalam 4
golongan tersebut sehingga kita mendapat Ampunan dari Allah SWT Amin
Amin Ya Robbal Alamin
Jika menurut anda bermanfaat Share atau Sebarkan Ilmu ini karena
mengamalkan Ilmu termasuk Amal Jariyah yang bisa membawa Syafa'at ketika
kita wafat
Minal A'idin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir dan Batin .. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H
Tema: Bukti Tidak ada Tuhan selain Allah SWT
Tahukah Anda bahwa sebagai orang yang mengaku beriman sekalipun, prinsip
dan kelakuan yang di luar jalur Islam penyebabnya kadang sesimpel
karena ia tak benar-benar tahu bahwa Tuhan itu ada? Ia tak bisa
menunjukkan bahwa Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah?
Coba, tunjukkan kepada saya bahwa Tuhan itu ada. Di mana?
Baiklah, kalau Anda sudah yakin bahwa argumentasi Anda tak tergoyahkan,
Anda boleh tak membaca tulisan ini.
Bagi yang belum yakin, tuntaskan tulisan ini. Akan saya tunjukkan kepada
Anda bagaimana saya menemukan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Ide Transendental
Ide tentang zat yang berada di luar jangkauan manusia, transenden,
muncul secara wajar dari ketidakmengertian manusia mengenai banyak hal,
sementara hal-hal tersebut begitu unik, ajaib, atau bahkan mengagumkan.
Manusia tak mengerti kenapa pohon kelapa bisa terbakar setelah ada
petir, maka ia menanamkan ide di kepala bahwa pasti ada “dewa petir”.
Para prajurit perang tak mengerti bagaimana pasukan yang sedikit bisa
mengalahkan pasukan lawan yang jumlahnya berlipat-lipat, maka muncullah
kepercayaan nasib yang ditentukan “dewa perang”. Atau siapa yang
menggantungkan bintang di langit setinggi itu, matahari terbit setiap
pagi, bulan purnama bersinar indah?
Salah satu pendekatan untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang belum
dimengerti tersebut adalah sains.
Setelah merumuskan teori dan implikasinya, lalu dikonfirmasi oleh
percobaan, fenomena pohon kelapa terbakar tadi dapat dijelaskan melalui
“fisika sederhana”. Dengan memahami komposisi pasukan, faktor pemimpin,
spirit pasukan, atau tujuan peperangan, seorang ahli strategi bisa
mengatakan bahwa pasukan sedikit yang menang tadi merupakan contoh “seni
perang”. Masalah bintang, matahari, dan bulan itu urusan astronomi.
Dari sini, banyak kejadian atau hal yang tak dimengerti sebelumnya dapat
dijelaskan secara logis. Kita jadi tahu bahwa bumi ini bulat. Kita juga
jadi tahu bahwa penyakit flu bisa diobati sehingga tak menyebabkan
kematian massal seperti yang terjadi di zaman Inca.
Tentu sains tak sebatas sains eksak. Dari sisi psikologi, misalnya, kita
bisa membangun rumah sakit jiwa.
Secara keseluruhan, sains membantu kita memahami bagaimana alam semesta
ini bekerja.
Efek sampingnya, bagi yang mendapat kepuasan dengan
penjelasan-penjelasan sains itu, ia jadi tak memerlukan lagi ide zat
transendental tadi. Toh ia tahu bahwa orang yang duduk lama di bawa
pohon rindang bisa pingsan karena kekurangan oksigen, bukan karena
penunggu pohon. Bahkan ia tahu kapan matahari akan padam.
Lebih jauh, sains tak mendeteksi adanya zat transendental. Sains tak
mendeteksi adanya Tuhan. Tuhan tak bisa dilihat, tak bisa diraba, atau
tak dapat dicicipi. Tak pernah terjadi, misalnya, seorang ahli optik
setelah bekerja selama 10 tahun dengan penuh dedikasi, tibalah suatu
hari ia berlari keluar laboratorium sambil berteriak, “Eureka! Eureka…!”
Ia telah melihat Tuhan melalui teropong!
Tak pernah.
Orang-orang yang tak mendeteksi adanya Tuhan secara ilmiah itu lalu
menyimpulkan dengan lantang bahwa Tuhan tidak ada. Bahwa alam semesta
ini muncul dari ketaksengajaan (coincidence), bukan diciptakan. Kita
sebut saja kelompok orang ini sebagai materialis.
Berpikir Seperti Saintis
Seseorang mungkin akan membuat Anda ragu dengan pertanyaan: “Sains tahu
jawabannya, kenapa Anda masih percaya Tuhan?” Mari kita bantah dengan
beberapa poin berikut.
1. Postulat
Secanggih-canggihnya pencapaian sains, semuanya berdasar pada postulat.
Postulat adalah pernyataan yang dianggap benar tanpa pembuktian. Dari
postulat ini dapat diturunkan implikasi-implikasi lain sehingga
terkonstruksi suatu bangunan ilmu pengetahuan; biasanya dinyatakan dalam
teorema, proposisi, dan akibat (corollary). Salah satu postulat yang
terkenal adalah Hukum Kekekalan Energi:
Energi tak dapat dimusnahkan dan diciptakan. Ia hanya berubah dari
bentuk satu ke bentuk yang lain.
Pernyataan ini diterima begitu saja, dianggap benar tanpa perlu
dibuktikan. Seorang saintis sama sekali tak bereksperimen untuk
menciptakan energi baru, tak pula ia berusaha memusnahkan suatu energi.
Pokoknya itu benar.
Jika digabungkan dengan Hukum Kekekalan Massa, didapat ekuivalensi
antara masa dan energi seperti E=mc2 yang terkenal itu.
Contoh lain:
Hanya ada tepat satu garis yang melalui dua titik yang berbeda.
Pernyataan ini tak pernah dibuktikan, tapi implikasinya sangat dahsyat.
Salah satunya kajian geometri bola (Spherical Geometry). Ambil contoh
bola dunia. Jika bumi dianggap bola berjari-jari 1 m, tahukah Anda luas
seluruh permukaan bumi 4 pi m2 itu akibat dari pernyataan di atas? Atau
tahukah Anda berapa jumlah minimal satelit agar GPS berfungsi dengan
baik di seluruh permukaan bumi?
2. Asumsi
Perilaku alam ini sungguh kompleks. Berinteraksi satu sama lain; Berubah
terhadap waktu; Sementara otak manusia tak bisa mengimbangi. Karena
itu, diperlukan suatu penyederhanaan agar mudah dipahami tanpa
menghilangkan keadaan yang sebenarnya. Alat untuk menyederhanakan
tersebut, saintis bermain dengan asumsi. Asumsikan “begini”, didapat
suatu rumusan. Asumsikan “begini dan begitu”, didapat rumusan yang
berlainan (atau berkaitan).
Misalnya, jika Anda ingin menentukan waktu tercepat untuk menempuh
Jakarta-Bandung, percayalah, asumsikan bukan hari libur.
3. Tingkat Kepercayaan
Untuk ilmu-ilmu yang bukan teoritis/analitis, struktur bangunannya
dibentuk dari hasil pengamatan/percobaan. Perlu diketahui bahwa perilaku
alam ini juga tak bisa ditentukan secara pasti. Kita hanya mengamati
suatu kejadian berdasar pada “peluang” ia terjadi. Dengan asumsi yang
sesuai, suatu pengamatan akan diinterpretasikan “selogis mungkin” dengan
“kesalahan sekecil mungkin”. Keberterimaan suatu interpretasi
ditentukan oleh tingkat kepercayaan (level of acceptance). Dalam ilmu
statistik, jika tingkat kepercayaan ini tinggi, 95% misalnya, kesimpulan
dari suatu percobaan dapat dipandang ilmiah.
Meskipun ada kesalahan, kita mempertahankan interpretasi ini karena
Hukum Bilangan Besar dan Teorema Limit Pusat (Central Limit Theorem),
dalam artian: jika perlakuan terhadap sampel percobaan dilakukan
berulang-ulang “cukup besar”, interpretasi akan “konvergen” (converge)
ke keadaan yang sebenarnya.
Memahami ketiga hal di atas, kita bisa mematahkan prinsip materialis
dengan satu sudut pandang saja: cacat logika (logic flaw).
Keunggulan metode sain melalui ketiga dasar di atas terletak pada
kemampuan sains untuk “memprediksi” suatu kejadian. Hasil dari
keunggulan tersebut termanifestasi dalam “produk sains”. Misalnya, dalam
ilmu kimia kita kenal efek fotolistrik, maka kita bisa membuat mesin
foto kopi.
Prediksi yang paling menakjubkan terjadi pada relativitas ruang dan
waktu dalam teori relativitas Einstein: bahwa di sekitar benda yang
massif, ruang itu melengkung. Ini “dikonfirmasi” oleh pengamatan
Eddington dengan memotret benda langit saat gerhana matahari. Terlihat
benda yang sama memiliki citra yang berbeda karena cahaya tidak merambat
lurus. Ilustrasinya, jika sebuah pintu “sangat berat”, cahaya yang
mengenai benda di balik pintu “berbelok” ke samping pintu sehingga
sampai di mata kita, karena ruang di sekitar pintu itu melengkung,
sehingga kita bisa melihat benda tersebut seolah-olah pintu tembus
pandang.
Pengkonfirmasian teori melalui percobaan ini perlu kita luruskan. Ingat
bahwa interpretasi “Tuhan tidak ada” tunduk pada implikasi dari postulat
awal yang dibentuk. Penghubung antara postulat dan interpretasi adalah
serangkaian hubungan sebab-akibat. Seperti yang pernah kita pelajari di
SMA kelas 1 dulu, bentuk sebab-akibat yang paling umum dan sederhana
bisa diambil contoh berikut.
“Jika saya lapar, maka saya makan.”
atau
“Semua orang Subang adalah warga Indonesia.”
Hasil konfirmasi itu terletak setelah kata “maka”. Secara pasti:
Jika teori berlaku, maka konfirmasi terjadi.
Padahal kita tahu:
Kalau saya makan, belum tentu saya lapar. Bisa saja karena memang saya
rakus.
Atau bukankah tidak semua warga Indonesia itu orang Subang? Ada orang
Bali!
Selanjutnya, kalau saya tak lapar, apakah saya tidak akan makan? Belum
tentu. Bisa saja saya makan meskipun belum lapar. Atau kalau saya bukan
orang Subang, apakah saya bukan warga Indonesia? Belum tentu. Saya
mungkin orang Medan, tapi saya masih warga Indonesia.
Nah, interpretasi eksistensi Tuhan melalui pendeteksian oleh sains bisa
kita tulis sebagai berikut.
“Jika Tuhan terdeteksi, maka Tuhan ada.”
Seperti penalaran sebelumnya, bukankah:
Jika Tuhan tak terdeteksi, belum tentu Tuhan tidak ada. Bisa saja Tuhan
ada, tapi tak terdeteksi.
Jika Tuhan ada, belum tentu Tuhan terdeteksi. Bisa saja Tuhan ada, tapi
tak terdeteksi.
Jadi, ketidakmampuan manusia mendeteksi Tuhan secara fisik (Tuhan tak
terlihat, tak dapat dicicipi, atau tak dapat diraba), sama sekali tak
menghilangkan fakta eksistensi Tuhan itu sendiri!
Holistik
Kesadaran akan adanya zat transendental juga muncul ketika kita
memandang kehidupan dan alam semesta secara keseluruhan/holistik. Tadi
kita melihat dari sisi “Bagaimana bumi mengelilingi matahari?”, sekarang
kita lihat dari “Kenapa hanya di planet bumi terdapat makhluk hidup?”.
Untuk itu, mari kita sikapi ketidakmengertian akan fenomena-fenomena
seperti pohon kelapa terbakar bukan pada “bagaimana”, melainkan pada
“latar belakang dan tujuan”. Ilustrasi yang paling umum adalah sebagai
berikut.
Jika Anda pergi ke suatu kota, lalu Anda melihat gedung yang sangat
indah, Anda akan bertanya-tanya: siapa pemilik gedung ini? siapa
arsiteknya?, jumlah pegawainya?
Saya jawab:
Tidak ada yang mengerjakan gedung tersebut, apalagi arsitek. Gedungnya
tiba-tiba tadi pagi ada di sana. Mungkin batu-batu dari gunung terbawa
longsor, kaca dan besi berkumpul, lalu terbentuklah bangunan indah.
Singkatnya, gedung itu terbangun secara kebetulan.
Anda menyangkal: tidak mungkin!
Nah, mari kita terapkan penalaran yang sama terhadap alam semesta.
Apakah Anda tidak merasakan keindahan bintang-bintang yang bersinar di
malam hari itu? Pernahkah Anda mengajak kekasih Anda untuk menyaksikan
matahari terbit dari atas bukit? Lalu Anda berpikir bahwa keindahan itu
terjadi secara kebetulan?
Kita sangkal: tidak mungkin!
Orang-orang yang menyadari adanya “campur tangan” zat transendental,
secara naluriah akan mencari siapa/apa zat tersebut. Sama seperti ketika
kita sudah yakin bahwa gedung indah di kota tadi pasti dibangun, kita
akan mencari siapa arsiteknya. Kelompok orang ini lalu masuk ke
pencarian Tuhan.
Kita ambil contoh cara Nabi Ibrahim berdakwah kepada kaumnya. Misalkan
seseorang awalnya mengira matahari adalah Tuhannya, tapi ketika matahari
terbenam, ia ragu, harusnya Tuhan tidak terbenam. Kemudian ia
menganggap bulan itu Tuhan, tapi ketika datang siang, ia ragu, harusnya
Tuhan tidak hilang siang dan malam.
Sama seperti kita mencari sesuatu, kita bisa menemukan sesuatu itu
karena hal-hal berikut.
1. Tanda-tanda
Kalau kita mencari kuda hilang, kita akan memperhatikan tapak kakinya.
2. Informasi dari orang lain
Kita akan bertanya, barangkali ada yang melihat kuda.
3. Sesuatu itu sendiri yang menampakkan diri.
Kudanya sendiri yang menampakkan diri kepada kita.
Ide zat transendental tadi baru sampai pada poin 1. Kita baru menyadari
bahwa ada tapak kuda, kita melihat bintang-bintang yang menakjubkan.
Poin 2 bisa terjadi kalau memang ada yang telah melihat zat tersebut.
Sampai sini, Tuhan tahu keterbatasan manusia; dengan segala
kesibukannya, egoismenya, atau godaan setan. Tuhan juga tahu sains tidak
akan mendeteksi diri-Nya. Maka, kita perlu poin 3. Jadi, Tuhan sendiri
yang akhirnya memperkenalkan diri-Nya sendiri kepada manusia.
Tapi Tuhan selektif, Ia tak memberi tahu sembarang orang. Ia hanya
memberi tahu orang-orang yang benar-benar mencari Tuhan. Lebih jauh,
Tuhan memperkenalkan diri lewat manusia pilihan yang disiapkan untuk
member tahu manusia lainnya. Dalam hal ini, kita namai nabi.
Nah, saya akan menggunakan informasi yang diberikan Tuhan kepada nabi
tersebut seakan-akan kita sudah tahu bahwa informasi tersebut
valid/otentik/benar. Kita akan lihat nanti bagaimana satu informasi bisa
didapat dari informasi lain dan antar informasi saling menguatkan,
termasuk klaim validasi itu sendiri. Dan sumber informasi yang digunakan
adalah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, yaitu Al-Qur’an.
Perhatikanlah bagaimana cara Tuhan memperkenalkan diri melalui ayat-ayat
berikut.
1. “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS.
Thaha 20:14)
Secara gamblang:
“Sampaikan kepada orang-orang yang mencari Tuhan itu, Muhammad, Akulah
Allah, Tuhan kalian. Aku yang menciptakan langit dan bumi, bahkan diri
kalian sendiri. Lalu beribadahlah kepadaku supaya kalian ingat terus,
tidak lupa, tidak tersesat.”
Tapi apakah Muhammad sekadar menciptakan ide transendental melalui
kepalanya sendiri? Apakah konsep Allah itu hasil pemikirannya sendiri?
Sekadar untuk menarik simpati dengan membuat wadah keagamaan? Tidak.
Allah sendiri memberi tahu:
2. “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. An-Najm 53:3-4)
Secara gamblang:
“Hey, kamu yang masih ragu-ragu, juga kamu yang mencari-cari kesalahan,
apa yang dikatakan Muhammad itu bukan berasal dari pikirannya, tapi
datang dari Aku, Tuhan kalian.”
Untuk lebih meyakinkan bahwa Al-Qur’an ini datang dari Tuhan, Tuhan
sendiri memberikan ruang kontemplasi:
3. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al
Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya.” (QS. Al-An’am 4:82)
Tapi di dalam Al-Qur’an tidak ada yang bertentangan, baik antar ayat,
maupun dengan observasi sains. Maka, pastilah Al-Qur’an itu datang dari
Tuhan. (Ingat, kalau saya tak makan, pastilah saya tak lapar.)
Apa? Anda masih menolak? Tuhan menantang Anda:
4. “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja)
yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah 2:23)
Secara gamblang:
“Kalau Anda tidak bisa membuat satu ayat saja yang seperti Al-Qur’an,
maka Anda orang-orang yang salah. Jadi, akuilah bahwa Aku ini Tuhanmu.”
Menurut hemat saya, kalau Anda mencoba membuat-buat satu surat saja,
secara tak langsung Anda telah mengakui bahwa itu perkataan Tuhan. Anda
hanya mencari-cari fitnah.
Jika kita mengasosiasikan Tuhan sebagai zat yang menciptakan alam
semesta, wajarlah jika kita menganggap-Nya sangat hebat, sementara kita
makhluk kerdil yang tak ada apa-apanya. Tuhan menciptakan DNA, sementara
manusia harus berabad-abad untuk mengetahui adanya DNA.
Dengan hanya 4 pokok pengenalan tersebut, pembuktian eksistensi Tuhan
sepenuhnya terletak pada validasi Al-Qur’an. Padahal, validasi ini telah
diberikan oleh poin 3:
Al-Qur’an datang dari Tuhan, maka seluruh isinya merupakan kebenaran.
Sampai sini, kita sudah membuktikan bahwa Tuhan itu ada.
Lalu, untuk membuktikan bahwa Tuhan itu hanya satu, kita ambil saja ayat
Al-Qur’an berikut ini:
“Katakanlah (olehmu, Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa’.” (QS.
Al-Ikhlash 112:1)
Jadi, Tuhan itu ada dan hanya satu, yaitu Allah.
Bukti lengkap.
Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2012/01/18191/bukti-tidak-ada-tuhan-selain-allah/#ixzzQCB5cHDCe
Islami
22.42
Sahabat Farhan
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Sahabat Farhan. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar :
Posting Komentar