Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 27 April 2020

Dilema UMKM Halal ditengah Badai COVID-19

Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau biasa disingkat UMKM merupakan usaha yang memiliki aset maksimal 10 miliar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Di Indonesia UMKM memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia, seperti dalam hal perluasan kesempatan kerja dan penyerapan tenaga kerja, pembentukan produk domestik bruto (PDB), dan penyediaan jaring pengaman terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk menjalankan kegiatan ekonomi produktif.

UMKM Halal merupakan UMKM yang sudah tersertifikasi halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Biaya sertifikasi yang mahal masih menjadi kendala bagi UMKM sejak diberlakukannya UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang mengharuskan semua pelaku usaha memiliki sertifikat halal. Tapi di awal tahun 2020 ini ada kabar baik dari Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa usaha kecil dan mikro akan mendapatkan insentif dari pemerintah untuk mendapatkan sertifikasi halal. Hal ini berarti setiap UMK yang ingin memperoleh sertifikasi halal dari BPJPH akan dibebaskan dari biaya proses sertifikasi alias gratis.

Namun, saat ini keadaan UMKM di Indonesia baik yang sudah bersertifikasi halal maupun yang sedang dalam kondisi yang cenderung memprihatinkan. Wabah COVID-19 yang melanda dunia saat ini sudah berakibat tidak hanya ke sektor kesehatan, melainkan kegiatan perekonomian juga menjadi lesu bahkan ada yang mati total. Terutama dengan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Indonesia yang semakin membuat bisnis UMKM terpojokkan. Pemerintah dinilai belum maksimal dalam menghadapi dampak ekonomi akibat kebijakan ini. Padahal menurut Badan Pusat Statistik tahun 2016, UMKM merupakan jantung dari perekonomian Indonesia yang menyumbangkan lebih dari 60% dari total PDB nasional, UMKM juga menyumbang 14,17% dari total ekspor Indonesia, dan UMKM pun juga menyumbang 58,18% dari total investasi. Tak terbayangkan jika UMKM mati, maka badai krisis ekonomi akan menghantam Indonesia.

Dampak lain dari COVID-19 adalah badai PHK yang membuat getir penduduk negeri ini. Mungkin untuk perusahaan besar yang dapat melaksanakan pekerjaannya dari rumah atau work from home tidak menjadi masalah besar untuk dihadapi. Tapi bagaimana dengan nasib UMKM yang masih mengelola bisnisnya dengan cara-cara yang tradisional, tentu akan menjadi masalah yang sangat besar dan signifikan hingga tidak tertangani. Secara mudah dapat diilustrasikan bahwa UMKM akan berhenti berproduksi sehingga pemasukan akan menjadi nol, lantas yang terjadi kemudian adalah mau tidak mau para pemilik UMKM akan merumahkan atau melakukan PHK terhadap sebagian atau seluruh pekerjanya. Patut untuk diketahui bahwa UMKM menyerap tenaga kerja hingga 89,2% dari total tenaga kerja di Indonesia menurut BPS pada tahun 2016. Sehingga dapat terbayangkan akan terjadi berapa banyak pengangguran di Indonesia jika kebijakan ekonomi tidak segera dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menyelamatkan UMKM. Sehingga menurut saya secara pribadi, bahwa kebijakan PSBB harus disertai dengan kebijakan menyelamatkan UMKM karena jika permasalahan ekonomi tidak diselesaikan secara beriringan maka badai PHK akan terus terjadi dan mengakibatkan banyak penduduk menjadi kelaparan.

Saya akan mencoba masuk lebih dalam membahas di bidang saya yaitu ekonomi syariah. Rantai industri halal di Indonesia juga mengalami dampak yang sangat memprihatinkan. Sebagai sebuah ilustarasi bahwa UMKM halal mengalami penurunan produksi yang signifikan terutama yang tidak terkoneksi dengan online market place. Sebagai imbasnya, mereka para pelaku bisnis UMKM baik yang bankable maupun yang unbankable akan mengalami gagal bayar cicilan pembiayaan. Bagi UMKM yang bankable mungkin permasalahan ini sudah atau sedang teratasi karena sudah adanya kebijakan relaksasi pembiayaan untuk UMKM utamanya bagi nasabah penerima kredit usaha rakyat (KUR). Namun bagi UMKM yang unbankable bagaimana nasibnya? Mereka yang dapat pembiayaan dari Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) atau dari Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS), mereka para pemilik UMKM harus tetap melakukan pembayaran cicilan pembiayaan. Karena BPRS dan KSPPS itu sendiri bukanlah sebuah usaha yang berskala besar, bisa jadi jika ditilik dari besaran omzet mereka, mungkin banyak dari mereka yang besaran omzetnya sama saja dengan UMKM pada umumnya. Sehingga bagi pemilik BPRS atau KSPPS juga kesulitan untuk memberikan kebijakan relaksasi pembiayaan bagi para nasabahnya yang mayoritas UMKM, karena mereka juga harus tetap menggaji karyawan dan anggotanya. Sehingga jika permasalahan ini terus dibiarkan, maka petaka akan terjadi bagi UMKM dan BPRS serta KSPPS.

Permasalahan juga terjadi bagi UMKM halal yang tetap melakukan kegiatan produksi, karena pada masa pandemi ini tingkat daya beli masyarakat menurun drastis. Masyarakat yang rawan miskin sudah beralih status menjadi masyarakat miskin karena kebanyakan dari mereka adalah yang bekerja di sektor informal dan saat ini sama sekali tidak berpenghasilan. Sehingga terdapat potensi produk-produk yang dijual oleh UMKM halal tersebut tidak dibeli oleh pasar. Sungguh petaka luar biasa bagi negara berkembang yang ekonominya sebagian besar ditopang oleh UMKM.

Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan UMKM? Apa harus menunggu kebijakan pemerintah?

Menurut saya, strategi penyelesaian sekaligus pengembangan  UMKM di Indonesia adalah dengan equity crowd funding. Kita tidak harus menunggu pemerintah untuk menyelesaikan persoalan UMKM, karena setiap dari kita saat ini bisa menjadi pahlawan untuk menyelamatkan UMKM. Sebagai contoh saat ini terdapat platform Santara dimana kalian bisa berinvestasi kepada UMKM yang sistemnya seperti kalian berinvestasi di bursa saham. Kalian bisa berinvestasi mulai ratusan ribu hingga membiayai seluruh bisnis UMKM yang kalian pilih dengan skema bagi hasi dan bagi rugi atau profit and loss sharing. Skema bisnis ini sudah sesuai dengan aspek ke-syariahan dimana tidak menggunakan instrumen bunga dan jaminan (collateral). Serta, setiap enam bulan sekali setiap investor akan mendapatkan dividen. Tentu dengan adanya platform equity crowd funding seperti ini akan menyelamatkan kedua belah pihak, yaitu pihak investor dan pihak UMKM.

UMKM yang saat ini bisnisnya sedang mengalami permasalahan keuangan seperti butuh modal untuk kembali berproduksi atau beralih produksi akan tertolong. Juga bagi UMKM yang ingin meningkatkan skala usahanya juga akan terbantu oleh investasi melalui platform equity crowd funding. Bahkan setiap masyarakat yang ingin membuat sebuah bisnis baru juga bisa mendapatkan modal melalui platform tersebut. Sehingga menurut hemat saya, sudah saatnya momen COVID-19 ini menjadi momentum dimana terdapat kolaborasi besar seluruh rakyat Indonesia, dan saya mengajak kepada seluruh masyarakat yang memiliki modal atau tabungan di Bank, mari kita selamatkan UMKM dengan menarik tabungan kalian dan menginvestasikannya di UMKM.

0 komentar :

Posting Komentar

Sahabat Farhan. Diberdayakan oleh Blogger.

 
Free Web Hosting