Di bidang penguasaan teknologi pesawat
terbang, Indonesia telah terkenal sebagai satu-satunya negara di Asia
Tenggara yang memproduksi dan mengembangkan pesawat sendiri. Walaupun di
bidang pemasaran produksi pesawatnya sendiri harus kita akui kita masih
kalah bila dibandingkan dengan Brazil, yang mengembangkan EMBRAER dan
memasarkannya ke seluruh dunia.
Akan tetapi, beberapa tahun belakangan
ini, beberapa negara mulai mengalihkan perhatiannya ke pesawat buatan
Indonesia, sebut saja Malaysia, Pakistan, UAE, Philipina, dan Korea
Utara, serta beberapa negara lainnya. CN-235 tampaknya akan mendapatkan
pangsa pasar yang lebih luas di beberapa tahun kedepan setelah lebih
banyak negara yang sadar akan kehandalannya. Malaysia sendiri berencana
memesan 4 pesawat tambahan untuk menambah jumlah pesawat CN-235 yang
sudah mereka miliki.
Apalagi dengan kejadian jatuhnya pesawat
MA-60 milik PT Merpati Nusantara Airlines buatan Xi’an Aircraft
International Company semakin menuai opini : ” Kenapa kita tidak
menggunakan pesawat produksi dalam negeri saja ? “. Padahal banyak
laporan yang melansir bahwa harga pesawat China malahan terlalu mahal
dibanding produksi dalam negeri, apalagi ditambah kualitas barang yang
patut dipertanyakan, bahkan ada isu yang berkembang bahwa pembelian
pesawat China tersebut dibumbui unsur KKN (perlu dicheck ulang
kontraknya ?, itu pun perkataan banyak media massa).
Nah, sebetulnya untuk kelas pesawat yang
sama, PT. DI sendiri juga telah memiliki jenis pesawat CN 235 yang
kompetitif, sudah teruji kehandalannya dan terpakai oleh beberapa negara
dunia, termasuk diantaranya Amerika. Apalagi dengan bebagai prototipe
yang lain yang dahulu maupun yang akan datang telah dikembangkan.
Terlepas dari unsur politik dan kebijakan, perlu kita ketahui
pesawat-pesawat buatan Indonesia yang saat ini tengah dipasarkan dan
dikembangkan karena masih berupa prototype yang sudah lulus uji
aerodinamika.
1. Pesawat N-2130
N-2130 adalah tipe pesawat jet yang
hendak dikembangkan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada
masa jaya perusahaan tersebut di pertengahan 1990-an. Pengembangan
pesawat jet komuter dengan jumlah penumpang antara 80–130 orang itu
mungkin terinspirasi pesawat yang dikembangkan perusahaan pesawat
terbang Brasil,Embraer. Bedanya, Embraer sekarang ini menghasilkan
pesawat Embraer Regional Jet (ERJ) yang banyak digunakan perusahaan
penerbangan Amerika Serikat (AS), terutama untuk shuttle flight pada
jalur-jalur padat Boston, New York, Washington DC, dan Miami.
Adapun N-2130 ternyata hanya menjadi
mimpi karena terkubur krisis moneter 1998. Sebagai rentetan krisis
tersebut, pemerintah harus menghentikan bantuan kepada IPTN sebagai
bagian kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Hari ini,
lebih dari 10 tahun sejak krisis moneter, kita berada pada posisi yang
jauh lebih baik dan siap untuk menghidupkan kembali proyek tersebut.
Ada beberapa alasan kuat untuk itu.
Pertama, Indonesia sudah berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang patut
diperhitungkan. Dalam krisis global baru-baru ini, Indonesia berhasil
untuk tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang moderat bersama China
dan India. Perkembangan tersebut membuat Indonesia masuk dalam radar
perekonomian global.
Ini berarti apa yang diproduksi
Indonesia mulai diperhitungkan perusahaan penerbangan di luar negeri.
Kedua, perkembangan tersebut juga memperkuat daya beli rakyat dan dunia
usaha Indonesia. Jika 12 tahun lalu hanya Garuda dan Merpati yang
menjadi perusahaan penerbangan nasional, sekarang banyak perusahaan
penerbangan yang mampu membeli pesawat dalam jumlah besar.
Perkembangan traffic dan jumlah
penumpang pesawat terbang melonjak sehingga sangat layak jika industri
pembuat pesawat terbang akan kecipratan berkah di tahun-tahun mendatang,
menurut perkiraan Compliance Services Indonesia. Ketiga, dalam keadaan
terjepit pun PT IPTN, yang kini bermetamorfosis menjadi PT Dirgantara
Indonesia (PT DI), mampu memasarkan produk ke pelanggan di luar negeri.
Korea Selatan sudah membeli beberapa pesawat CN 235, termasuk empat di
antaranya yang merupakan pesanan Departemen Pertahanan Korea Selatan
untuk patroli maritim.
Demikian juga dengan Malaysia,
Thailand,Pakistan,dan Turki. Korea Selatan, Malaysia, dan Pakistan
bahkan telah membeli pesawat jenis CN 235 untuk digunakan sebagai
pesawat kepresidenan. Keempat, PT DI pada 2009 mulai berhasil mencetak
laba. Perolehan pendapatan tersebut diperkirakan semakin besar pada 2010
dengan adanya pesanan 10 helikopter untuk Angkatan Udara dan Basarnas
serta pesanan tiga pesawat CN 235–200 MPA untuk menggantikan pesawat
Nomad Angkatan Laut Indonesia.
Ini membuktikan restrukturisasi
perusahaan tersebut mulai berhasil dalam meningkatkan efisiensi. Kelima,
Indonesia sudah lulus dari program IMF. Ini berarti Indonesia memiliki
kebebasan penuh untuk mengembangkan kembali cita-cita. Saya yang pernah
bekerja di IMF selama lima tahun sangat memahami bahwa tidak ada dari
lembaga internasional tersebut yang dapat mencegah kita melakukan hal
tersebut.
Keenam, kemampuan keuangan
pemerintah.Keuangan pemerintah sekarang sangat kuat. Kecilnya defisit
APBN maupun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) merupakan
ukuran internasional yang menunjukkan kekuatan kita. (Tulisan saya pekan
lalu,“Utang Pemerintah dalam Perekonomian Global”, menjelaskan hal
tersebut). Sekarang ini pemerintah memiliki uang tunai yang jumlahnya
sekitar Rp200 triliun. Uang tersebut setiap kali justru semakin
bertambah dan bukannya berkurang.
Untuk pengembangan N–2130, pemerintah
perlu memastikan keekonomiannya dan sangat mungkin memberikan bantuan.
Terlebih lagi jika PT DI mampu menunjukkan laba kembali dalam dua tahun
ke depan, bukan hanya perbankan yang akan berebut untuk memberikan
pembiayaan, pasar modal pun akan terbuka lebar untuk menerima penawaran
saham perdana (IPO) PT DI. Ketujuh, alasan idealisme.
Begitu banyak tenaga ahli penerbangan
Indonesia eks IPTN yang sekarang ini berdiaspora di luar negeri. Mereka
mampu mengembangkan keahliannya dan diakui oleh raksasa industri
penerbangan di Amerika, Eropa maupun negara-negara lain, sedangkan
kesempatan untuk mengembangkan industri di Tanah Air sebetulnya juga
terbuka lebar. Berdasarkan hal-hal tersebut, yang daftarnya juga bisa
diperpanjang, merupakan suatu kesia-siaan membiarkan PT DI berjuang
sendiri.
Sebagai perusahaan, dengan keuntungan
yang dihasilkan saat ini,mereka jelas akan mampu berkembang. Namun
kecepatan pertumbuhan mereka akan sangat rendah tanpa ada keberpihakan
pemerintah. Pemerintah dapat mulai membantu PT DI dengan menghidupkan
kembali pesawat N250 yang sudah menghasilkan prototipe, bahkan sudah
pula hadir dalamAir Show di Eropa sebelum krisis moneter 1998.
Pesawat yang sekelas dengan ATR 42 dan
salah satu varian dari Embraer tersebut memiliki potensi yang sangat
besar bagi penggunaannya di Indonesia yang memiliki banyak bandara
berlandasan pendek. Seiring pengembangan N250, riset dan pengembangan
produk pesawat N-2130 mulai dapat diintensifkan.
Dengan kerangka waktu lebih tertata,
kita bisa mengharapkan bahwa dalam tiga-empat tahun ke depan, kita sudah
memiliki gambaran untuk melihat prospek yang lebih jelas bagi pesawat
tersebut. Visi 2025 pemerintah jelas, yaitu menginginkan Indonesia
menjadi negara maju di tahun tersebut. Let’s just do it. Marilah kita
mengisi visi tersebut dengan segenap kemampuan kita. Jika Brasil bisa,
kenapa kita tidak?
2. Pesawat N-250
Prototipe pesawat N250 sendiri pernah
terbang menuju Le Bourget Perancis untuk mengikuti Paris Air Show.
Penampilan perdana pesawat N250 tersebut menggetarkan lawan-lawannya,
karena merupakan pesawat yang menggunakan teknologi fly by wire yang
pertama dikelasnya. Pada saat tersebut (dan juga sekarang) pesawat
sekelas adalah ATR 42 yang merupakan produksi pabrik pesawat Prancis
ATR, Fokker F50, produksi pabrik pesawat Fokker Belanda dan Dash 8,
produksi pabrik pesawat De Havilland (sekarang Bombardier) dari Kanada.
Pesawat N250 murni merupakan rancang
bangun anak bangsa. Setelah melewati fase-fase yang panjang sejak
didirikannya tahun 1976, PTDI awalnya membuat pesawat dan helikopter
dengan lisensi dari perusahaan pesawat lainnya. Pesawat C212 merupakan
pesawat lisensi dari Casa Spanyol yang juga di buat di PTDI, kemudian
pengembangan dari pesawat tersebut adalah NC212. Tahapan berikutnya
adalah memproduksi pesawat komersial yang lebih besar yang rancang
bangunnya kerjasama dengan Casa Spanyol yaitu pesawat CN-235 (bermesin 2
dan berpenumpang 35). Pesawat CN235 diberi nama Tetuko, tokoh dalam
pewayangan.
N-250 adalah pesawat regional komuter
turboprop rancangan asli IPTN atau PT. DI sekarang. Menggunakan kode N
yang berarti Nusantara menunjukkan bahwa desain, produksi dan
perhitungannya dikerjakan di Indonesia atau bahkan Nurtanio, yang
merupakan pendiri dan perintis industri penerbangan di Indonesia.
Pesawat ini diberi nama gatotkoco (Gatotkaca).
Dan tahapan berikutnya adalah pesawat
terbang N250 Gatot Koco yang murni merupakan rancang bangun dari PTDI.
Pesawat N250 dirancang mempunyai kapasitas penumpang 50 orang. Kapasitas
penumpang berkisar 50 memang diprediksi akan menguasai pangsa pasar
pesawat komersial. Diprediksi waktu itu, kebutuhan pasar atas pesawat
komersial antara 2000 – 2020 sekitar 8000 pesawat, dan diperkirakan 45%
adalah pesawat sekelas N250.
Pesawat ini merupakan primadona IPTN
dalam usaha merebut pasar di kelas 50-70 penumpang dengan keunggulan
yang dimiliki di kelasnya (saat diluncurkan pada tahun 1995). Menjadi
bintang pameran pada saat Indonesian Air Show 1996 di Cengkareng. Namun
akhirnya pesawat ini dihentikan produksinya setelah krisis ekonomi 1997.
Rencananya program N-250 akan dibangun kembali oleh B.J. Habibie
setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan perubahan di Indonesia yang dianggap demokratis. Namun untuk
mengurangi biaya produksi dan meningkatkan daya saing harga di pasar
internasional, beberapa performa yang dimilikinya dikurangi seperti
penurunan kapasitas mesin,dan direncanakan dihilangkannya Sistem fly-by
wire.
3. Pesawat CN-235
CN-235 adalah pesawat angkut jarak
sedang dengan dua mesin turbo-prop. Pesawat ini dikembangkan bersama
antara CASA di Spanyol and IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia)
sebagai pesawat terbang regional dan angkut militer. Versi militer
CN-235 termasuk patroli maritim, surveillance dan angkut pasukan. CN-235
adalah sebuah pesawat angkut turboprop kelas menengah bermesin dua.
Pesawat ini dirancang bersama antara IPTN Indonesia dan CASA Spanyol.
Pesawat CN-235, saat ini menjadi pesawat paling sukses pemasarannya
dikelasnya.
Desain & Pengembangan
CN-235 diluncurkan sebagai kerja sama
antara CASA dan IPTN. Kedua perusahaan ini membentuk perusahaan Airtech
company untuk menjalankan program pembuatan CN-235. Desain dan produksi
dibagi rata antara kedua perusahaan. Kerja sama hanya dilakukan pada
versi 10 dan 100/110. Versi-versi berikutnya dikembangankan secara
terpisah oleh masing-masing perusahaan.
Desain awal CN-235 dimulai pada Januari
1980, purnarupa pesawat terbang perdana pada 11 November 1983.
Sertifikasi Spanyol dan Indonesia didapat pada tanggal 20 Juni 1986.
Pesawat produksi terbang pertama pada 19 August 1986. FAA type approval
didapat pada tanggal 3 Desemebr 1986 sebelum akhirnya terbang pertama
untuk pembeli pesawat pada tanggal 1 Maret 1988. Pada tahun 1995, CASA
meluncurkan CN-235 yang diperpanjang, yaitu C-295
Versi Militernya Digunakan di Banyak Negara
Ternyata, versi militer CN 235 banyak diminati dan diekspor ke negara lain, yaitu :
- Afrika Selatan: Angkatan Udara Afrika Selatan (1)
- Amerika Serikat: Penjaga Pantai Amerika Serikat (8 HC-144)
- Arab Emirat: Angkatan Laut Persatuan Emirat Arab
- Arab Saudi: Angkatan Udara Arab Saudi
- Botswana: Angkatan Udara Botswana
- Brunei: Angkatan Udara Brunei (1)
- Chile: Angkatan Darat Chile (4 CN-235-100) satu jatuh di Antartika
- Ekuador: Angkatan Udara Ekuador
- Gabon: Angkatan Udara Gabon
- Indonesia: Angkatan Udara Indonesia (mengoperasikan CN235-100M, CN235-220M, CN235MPA)
- Irlandia: Korp Udara Irlandia (2 CN235MP)
- Kolumbia: Angkatan Udara Kolumbia
- Korea Selatan: Angkatan Udara Korea Selatan (20)
- Malaysia: Angkatan Udara Malaysia (8 CN235-220)
- Maroko: Angkatan Udara Maroko (7)
- Pakistan: Angkatan Udara Pakistan (4 CN235-220)
- Panama: Angkatan Udara Panama
- Papua New Guinea: Angkatan Udara Papua New Guinea
- Perancis: Angkatan Udara Perancis (19 CN235-100, 18 ditingkatkan menjadi CN235-200).
- Spanyol: Angkatan Udara Spanyol (20)
- Turki: Angkatan Udara Turki (50 CN235-100M); Angkatan Laut Turki (6 CN-235 ASW/ASuW MPA); Penjaga Pantai Turki (3 CN-235 MPA)
- Yordania: Angkatan Udara Yordania (2)
Disegani ?
Rupanya Australia, Singapura dan
Malaysia sudah lama tahu kehebatan para insinyur Indonesia. Buktinya?
Mereka sekarang sedang mencermati pengembangan lebih jauh dari CN 235
MPA (Maritime Patrol Aircraft) atau versi Militer.
Kalau para ekonom Indonesia antek-antek
World Bank dan IMF menyebut pesawat buatan PT. DI ini terlalu mahal dan
menyedot investasi terlalu banyak dan hanya jadi mainannya BJ Habibie
lalu mengapa Korea Selatan dan Turki mengaguminya setengah mati.
Turki dan Korsel adalah pemakai setia CN
235 MPA terutama versi militer sebagai yang terbaik di kelasnya di
dunia. Inovasi 40 insinyur-insinyur Indonesia pada CN 235 MPA ini adalah
penambahan persenjataan lengkap seperti rudal dan teknologi radar yang
dapat mendeteksi dan melumpuhkan kapal selam. Jadi kalau mengawal
Ambalat cukup ditambah satu saja CN235 versi militer (disamping armada
TNI AL dan pasukan Marinir yang ada) untuk mengusir kapal selam dan
kapal perang Malaysia lainnya.
4. Pesawat N-219
N-219 adalah pesawat generasi baru, yang
dirancang oleh Dirgantara Indonesia dengan multi sejati multi misi dan
tujuan di daerah-daerah terpencil. N-219 menggabungkan teknologi sistem
pesawat yang paling modern dan canggih dengan mencoba dan terbukti semua
logam konstruksi pesawat terbang. N-219 memiliki volume kabin terbesar
di kelasnya dan pintu fleksibel efisiensi sistem yang akan digunakan
dalam misi multi transportasi penumpang dan kargo. N-219 akan melakukan
uji terbang di laboratorium uji terowongan angin pada bulan Maret 2010
nanti. Pesawat N219 baru akan bisa diserahkan kepada kostumer pertamanya
untuk diterbangkan sekira tiga tahun atau empat tahun lagi. N-219
merupakan pengembangan dari NC-212.
Spesifikasi :
- Multi Purpose, dapat dikonfigurasi ulang
- 19 Penumpang, tiga sejajar
- Campuran kargo penumpang
- Kinerja STOL
- Biaya operasional rendah
Saat ini, penerbangan perintis di
beberapa wilayah Nusantara seperti Papua masih menggunakan
pesawat-pesawat produksi lama, seperti Twin Otter. Beberapa unit yang
ada telah tidak layak pakai sehingga diperlukan pesawat yang lebih
modern.
Karenanya, sejak tahun 2006, PT
Dirgantara Indonesia (PT DI) mengembangkan pesawat N219 berkapasitas 19
orang untuk menggantikan peran pesawat perintis yang ada sekarang. Saat
ini, uji aerodinamika pesawat tersebut telah dituntaskan.
Agar tidak mengalami kegagalan seperti
pesawat CN 250, pihak PT DI akan memproduksi pesawat berdasarkan order.
“Kedepannya akan buat 25 unit dulu dan mengupayakan seluruhnya terjual
dahulu.
Pembuatan sejumlah unit memerlukan dana
sekitar Rp 1 triliun. Jumlah ini menurut Andi cukup minim untuk membuat
pesawat. Ia menargetkan, sejumlah pesawat akan dibeli oleh pemerintah
daerah.
Andi juga mengatakan, spesifikasi
pesawat N219 dirancang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.
Pesawat ini mampu mendarat di landasan yang pendek sehingga bisa
diaplikasikan di wilayah terpencil dengan lahan terbatas.
“Pesawat ini juga dirancang bisa membawa
bahan bakar tambahan. Kita menyadari bahwa tidak setiap daerah memiliki
tempat pengisian bahan bakar,” hal ini merupakan kelebihan pesawat
N219.
Pengembangan pesawat ini didasarkan pada
karakteristik geografis Indonesia. “Kondisi geografis kita berbeda
dengan negara lain yang harus punya solusi sendiri”.
Pengembangan pesawat kecil ini
diharapkan mampu menjangkau wilayah terpencil sangat pas. “Banyak
wilayah Indonesia yang tak mudah dijangkau dengan transportasi darat.
Pesawat perintis bisa menjadi solusi “.
Pesawat N219 memiliki potensi besar
untuk dipasarkan ke daerah-daerah seperti Sumatera dan Papua. Pesawat
ini juga ditargetkan bisa dipasarkan ke negara lain yang masih
membutuhkan, misalnya negara-negara di Afrika.
5. Pesawat NC-212
NC-212 Aviocar adalah sebuah pesawat
berukuran sedang bermesin turboprop yang dirancang dan diproduksi di
Spanyol untuk kegunaan sipil dan militer. Pesawat jenis ini juga telah
diproduksi di Indonesia di bawah lisensi oleh PT. Dirgantara Indonesia.
Bahkan pada bulan Januari 2008, EADS CASA memutuskan untuk memindahkan
seluruh fasilitas produksi C-212 ke PT. Dirgantara Indonesia di Bandung.
PT. Dirgantara Indonesia adalah satu-satunya perusahaan pesawat yang
mempunyai lisensi untuk membuat pesawat jenis ini di luar pabrik pembuat
utamanya.
Pesawat Casa NC 212-200 yang digunakan
dalam operasional hujan buatan dilengkapi dengan Weather Radar (Radar
Cuaca) dan Global Positioning System (GPS). Radar Cuaca diperlukan untuk
mengidentifikasi sifat internal dan dinamika awan yang akan disemai,
sehingga sangat membantu untuk menentukan awan mana yang akan dijadikan
sebagai sasaran penyemaian sekaligus sebagai panduan safety penerbangan
untuk pesawat menghindari zona berbahaya di sekitar awan. GPS diperlukan
untuk merekam dan mencatat posisi dan track pesawat, sehingga memberi
penjelasan tempat dilakukannya eksekusi penyemaian awan.
6. Pesawat Tempur T-50 Golden Eagle
Anda pasti berfikir, dengan semua
kapasitas dan teknologi yang dimiliki Indonesia, kenapa sampai sekarang
Indonesia belum membuat Jet tempur ?
PT Dirgantara Indonesia (PTDI) akhirnya
siap berkerja sama dengan Korea Selatan mengerjakan proyek pengembangan
model pesawat tempur senilai US$8 miliar yang ditawarkan pemerintah
negara tersebut kepada Indonesia.
Kalau memproduksi sendiri (pesawat
tempur) belum bisa, tetapi kalau bergabung dengan Korea Selatan bisa
terlaksana. PT DI memiliki pengalaman dalam bidang kualifikasi dan
sertifikasi dalam memproduksi pesawat-pesawat yang berkecepatan rendah
seperti CN-235. Sementara itu, Korea Selatan berpengalaman dalam
memproduksi pesawat berkecepatan tinggi atau melebihi kecepatan suara (1
mach) T-50 Golden Eagle.
T-50 Golden Eagle adalah pesawat latih
supersonik buatan Amerika-Korea. Dikembangkan oleh Korean Aerospace
Industries dengan bantuan Lockheed Martin. Program ini juga melahirkan
A-50, atau T-50 LIFT, sebagai varian serang ringan.
Walaupun militer Amerika Serikat tidak
ada rencana untuk membeli pesawat ini, tapi penamaan militer amerika
secara resmi diminta untuk pesawat ini guna menghindari konflik penamaan
dikemudian hari.
Program T/A-50 dimaksudkan sebagai
pengganti dari berbagai pesawat latih dan serang ringan. Ini termasuk
T-38 dan F-5B untuk pelatihan dan Cessna A-37BClose Air Support; yang
dioperasikan AU Republik Korea. Program ini pada awalnya dimaksudkan
untuk mengembangkan pesawat latih secara mandiri yang mampu mencapai
kecepatan supersonik untuk melatih dan mempersiapkan pilot bagi pesawat
KF-16 (F-16 versi Korea). T-50 mmembuat Korea Selatan menjadi negara
ke-12 yang mampu memproduksi sebuah pesawat tempur jet yang utuh.
Beberapa produk korea lainnya adalah KT-1 produk Samsung Aerospace
(sekarang bagian dari KAI), dan produk lisensi KF-16. Sebagian besar
sistem utama dan teknologinya disediakan oleh Lockheed Martin, secara
umum bisa disebut T/A-50 mempunyai konfigurasi yang mirip dengan KF-16.
Pengembangan pasawat ini 13% dibiayai
oleh Lockheed Martin, 17% oleh Korea Aerospace Industries, dan 70% oleh
pemerintah Korea Selatan. KAI dan Lockheed Martin saat ini melakukan
program kerjasama untuk memasarkan T-50 untuk pasar internasional.
Program induknya, dengan nama kode
KTX-2, dimulai pada 1992, tapi Departemen Keuangan dan Ekonomi menunda
program KTX-2 pada 1995 karena alasan finansial. With the initial design
of the aircraft, in 1999. It was renamed T-50 Golden Eagle in February
2000, with the final assembly of the first T-50 taking place between 15
January, 2001. Penerbangan pertama T-50 terjadi pada Agustus 2002, dan
pengujian tugas operasional pertama mulai Juli 28 sampai 14 Agustus,
2003. Angkatan Udara Korsel menandatangani kontrak produksi untuk 25
T-50 pada Desember 2003, dan pengiriman dijadwalkan pada 2005 sampai
2009.
Varian lain dari T-50 Golden Eagle
termasuk pesawat serang ringan A-50, dan pesawat yang lebih canggih
FA-50. The A-50 variant is an armed version of the T-50 as a stable
platform for both free-fall and precision-guided weapons. FA-50 is an
A-50 modified with an AESA radar and a tactical datalink which are not
yet specified. As part of the A-37 retirement-out program to be
completed by 2015, sixty A-50′s will be in service for the South Korean
air force by 2011.
7. Pesawat Tempur KFX
(Korea Fighter Experimental)
Pesawat jet tempur KFX sendiri
sebetulnya merupakan proyek lama Republic of Korea Air Force (ROKAF)
yang baru bisa terlaksana sekarang. Proyek ini digagas presiden Korea
Kim Dae Jung pada bulan Maret 2001 untuk menggantikan pesawat-pesawat
yang lebih tua seperti F-4D/E Phantom II dan F-5E/F Tiger. Dibandingkan
F-16, KFX diproyeksi untuk memiliki radius serang lebih tinggi 50
persen, sistim avionic yang lebih baik serta kemampuan anti radar
(stealth).
Pemerintah Korea akan menanggung 60
persen biaya pengembangan pesawat, sejumlah industri dirgantara negara
itu di antaranya Korean Aerospace Industry menanggung 20 persennya
.pemerintah Indonesia 20 persen dan akan memperoleh 50 pesawat yang
mempunyai kemampuan tempur melebih F-16 ini dan 100 pesawat untuk korea.
Total biaya pengembangan selama 10 tahun untuk membuat prototype
pesawat itu diperkirakan menghabiskan dana 6 miliar US Dollar.Pemerintah
Indonesia akan menyiapkan dana US$1,2 miliar.
penandatanganan nota kesepahaman (MoU)
antara Indonesia-Korsel itu sudah dilakukan pada 15 Juli 2010 yang lalu
di Seoul-Korea Selatan. Diharapkan pada tahun 2020 Sudah Ada Regenerasi
Pesawat Tempur untuk kedua pihak
Spesifikasi KFX sebagai berikut :
Crew : 1
Thrust : about 52,000lbs (F414 class x 2)
Max Speed : about Mach 1.8
Thrust : about 52,000lbs (F414 class x 2)
Max Speed : about Mach 1.8
Armament :
- M61 Vulcan
- AIM-9X class short-range AAM(AIM-9X class) (indigenous, under development)
- AIM-120 class beyond visual range AAM (not specified yet)
- 500lbs SDB class guided bomb|KGGB (indigenous)
- JCM class guided short range AGM (indigenous, under development)
- SSM-760K Haeseong ASM (indigenous)
- Boramae ALCM (indigenous, under development), or Taurus class ALCM
- Supersonic ALCM (based on Yakhont technology) (indigenous, under development)
Mengapa PT DI tidak membuat sendiri ?
Membuat pesawat tempur jauh lebih
kompleks daripada membuat pesawat penumpang karena ada tambahan sistem
dalam sebuah pesawat tempur yaitu sistem kontrol senjata pada sistem
avioniknya, disamping sistem mesin pendorong, sistem radar, dan struktur
pesawat yang harus dirancang lebih kuat namun tetap lincah bermanuver
di udara.
Pesawat tempur KFX ini dirancang untuk
masuk dalam kelompok pesawat tempur generasi 4,5 yang berarti harus
mempunyai 6 kemampuan yaitu :
- Kemampuan pesawat tempur untuk melakukan manuver ekstrim agar mendapat posisi serang paling menguntungkan (Air Combat Manuverability).
- Pesawat tempur harus bisa terbang lincah sehingga harus menggunakan teknologi fly by wire untuk kontrol penerbangannya.
- Penggunaan teknologi trust vectoring nozzles yang mampu mengubah-ubah arah semburan gas buang mesin jet agar pesawat tempur mempunyai kemampuan terbang dalam kecepatan rendah dan mampu melakukan belokan tajam.
- Kemampuan untuk terbang jelajah pada kecepatan supersonik dalam waktu yang lama.
- Radar pesawat tempur berkemampuan menjejak target diluar batas cakrawala atau beyond visual range
- Kemampuan menyerap dan membiaskan pancaran radar atau teknologi stealth
Jadi bisa dibayangkan seandainya PT.
Dirgantara Indonesia dilibatkan dalam pembuatan pesawat tempur ini maka
akan ada penguasaan teknologi kedirgantaraan baru paling tidak untuk
pembuatan 50 pesawat tempur KFX yang akan dibeli Pemerintah Indonesia
nantinya dari keikutsertaannya membiayai proyek ini. Penguasaan
teknologi baru di bidang pembuatan pesawat tempur generasi 4,5 ini dapat
menjadi modal dasar bagi PT. Dirgantara Indonesia untuk membuat pesawat
tempur sendiri kelak dikemudian hari.
Jadi untuk teknologi PT DI memang belum
mampu untuk membuat secara mandiri. Selain ini butuh modal besar untuk
melakukan riset sendiri namun jika besama korea maka teknologi kita akan
dapatkan dengan sendirinya dan kelak dapat dikembangkan lagi untuk
membuat pesawat tempur ciptaan sendiri.
Penutup :
Artikel ini hanya sekedar sebuah berita.
Perihal integritas, klarifikasi pro kontra dan permasalahan dalam
internal PT. DI itu sendiri adalah sebuah wacana yang berbeda.
Sumber : http://aksesdunia.com/2012/7-pesawat-terbang-buatan-indonesia/
0 komentar :
Posting Komentar